BALI yang kini terkenal di seluruh dunia karena kebudayaan dan agama Hindu dengan segala keunikannya sejak dahulu sudah menunjukkan adanya kesediaan untuk menerima masuknya agama Katolik di wilayah ini. Satu dokumen yang mendukung hal ini adalah sepucuk surat di atas daun lontar yang ditunjukkan kepada orang-orang Portugis di Malaka pada tahun 1635. Dalam surat itu raja Klungkung mewakili raja-raja Bali menulis antara lain: ‘Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan ini untuk berdagang.Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen.”
Gereja Hati Kudus Yesus, Palasari |
Undangan Raja Klungkung itu mendapat sambutan dari gereja Katolik Portugis dengan diutusnya dua orang misionaris Yesuit ke Klungkung, Bali. Kedua pastor tersebut adalah P. Mamul Carvalho S.J dan P. Azemado S.J . dari Malaka. Namun tidak adanya bukti-bukti yang menyatakan adanya hasil dari kedua pastor tersebut. Apalagi dengan adanya kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk mempertahankan Bali agar bebas dari pengaruh agama Kristen melalui pasal 177 yang terkenal itu. Maka makin sulit bagi agama Katolik masuk ke pulau Bali.
Kemudian atas permohonan Vilkaris Apostolik Betawi Gubernur Jendral Hindia Belanda memberi ijin dalam tahun 1891 bagi dua misionaris masuk di Buleleng dalam suratnya yang antara lain berbunyi: “Dari pihak saya tidak ada keberatan bila satu atau dua misionaris mulai menetap di Buleleng dengan maksud mempelajari bahasa Bali dan sesudah itu menetap di Buleleng untuk mulai karya misi diantara penduduk setempat.”
Pastor Simon Buis
Selanjutnya pada tahun 1912 kepulauan Sunda Kecil diserahkan oleh Yesuit ketangan SVD, dan tahun 1913 wilayah kepulauan Sunda kecil ditingkatkan statusnya menjadi Prefektur Apostolik yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores,Sumba dan Timor.
Pada bulan desember 1914 Mgr. Noyen yang menjabat Prefek Apostolik Sunda Kecil mengadakan kunjungan keagamaan ke pulau Bali, setelah dengan susah payah mendapat ijin dari pemerintah Belanda. Disamping ijin untuk mengadakan kunjungan keagamaan, bahkan dalam tahun 1920 Pemerintah mengabulkan permohonan Mgr. Noyen SVD untuk mendirikan sebuah sekolah Katolik di Bali. Namun sayang sekali bahwa kesempatan emas ini tidak dapat dimanfaatkan karena masalah kekurangan tenaga.
Ternyata kesempatan tersebut tidak mudah diperoleh lagi, walaupun pengganti Mgr. Noyen yang meninggal tahun 1922, yakni Mgr. Verstralen mengajukan permohonan untuk mendirikan HIS di Bali tidak mendapatkan persetujuan dalam Volkstraad.Harapan muali muncul kembali sewaktu Mgr. Leven menjabat Vikarius Aopstolik mengantikan Mgr. Verstralen yang meninggal karena kecelakaan tahun 1932.Dan harapan itu pun menjadi kenyataan dalam tahun 1935, ketika pastor Van Der Heijden menjadi pastor di Mataram, Lombok. Pastor Van Der Heijden mendapatkan pula tugas khusus untuk mengadakan kunjungan rohani ke Bali dan Sumbawa dan sejak itu mulailah titik awal dari masuknya gereja Katolik ke Bali. Tanggal 14 Mei 1935 Van Der Heijden menetap di Mataram, dan tanggal 9 Juni 1935 Gereja Katolik pertama didirikan dan diresmikan di kota Mataram. Hari tersebut dipandangsebagai hari masuknya karya gereja Katolik di pulau Lombok.
Empat bulan kemudian, persisnya tanggal 11 September 1935, Pastor Van Der Heijden mengantar pastor J. Kersten SVD ke Denpasar dan mulai menetap di Denpasar. Peletakkan batu pertama gereja Katolik Tuka, 12 Juli 1936 oleh Pastor J. Kersten SVD dihadiri oleh Pastor Van Der Heijden dan Pastor Conrad SVD).
Perarakan Bunda Maria keliling Palasari
Pastor Simon Buis pada tanggal 15 September 1940 berhasil mengadakan eksodus dari Tuka dan sekitarnya ke ujung Barat pulau Bali dan membuka desa ditengah-tengah hutan yang kini terkenal sebagai desa Palasari.
Pada tahun 1939 gereja Gumbrih diresmikan disusul gereja di Padangtawang pada September tahun 1940, lalu gereja di Tangeb pada tgl 8 Desember 1940, di Palasari 19 Juni 1941.Pada tahun 1939 gereja Gumbrih diresmikan disusul pula oleh gereja di Padangtawang tahun 1940 bulan September, di Tangeb pada 8 Desember 1940, di Palasari 19 Juni 1941.14 Juli 1950 daerah Bali dan Lombok dipisahkan dari Sunda Kecil dan menjadi Prefectur Apostolik dibawah pimpinan Mgr. Hubertus Hermens SVD.Dalam masa jabatan beliau secara menyolok karya-karya karikatif dan edukatif berkembang pesat. Hal ini membawa perkembangan baru dalam penambahan lapangan kerja dan kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak.
Babak baru bagi karya para Suster pun mulai dan datanglah para suster Fransiskanes dari Semarang tahun 1956 ke desa Palasari. Satu langkah maju lagi dalam perkembangan Gereja Katolik Bali ialah dengan ditingkatkannya Profektur Apostolik Bali menjadi Keuskupan Denpasar tanggal 3 Januari 1961 dengan uskup pertama Mgr. Dr. Paulus Sani Kleden SVD yang ditahbiskan menjadi uskup di Palasari tgl 3 Oktober 1961.Pada masa ini karya Gereja Katolik Bali sudah meliputi bidang pendidikan melalui persekolahan dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah menengah. Dalam bidang medis melalui Poliklinik-BKIA dan rumah sakit yang tersebar dimasing-masing paroki seperti Tuka, Tangeb, Gumbrih, Palasari, Denpasar dan Singaraja.
Sumber :
Dirangkum dari tulisan Pastor Shadeg SVD
www.KUTAFX.com: St. Francis Xavier Church BALI Indonesia
BALI MEDIA INFO
Jasa Pembuatan Website dan Toko Online Termurah di Denpasar Bali